Berita Manajemen Hutan : Ketika Freeport Sepakat Divestasi 51% Saham, Bagaimana Soal
Lingkungan Dan Orang Papua?
Setelah melalui beberapa kali pertemuan, pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang PT. Freeport Indonesia capai kesepakatan divestasi saham paling sedikit 51%. “Setelah melalui perundingan dan negosiasi berat dan ketat, kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada Minggu, 27 Agustus 2017,” kata Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dua hari pasca kesepakatan.
Ada Beberapa Poin dalam Kesepakatan Itu.
Pertama, Freeport menyetujui landasan hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan Freeport berupa IUPK, bukan lagi KK. Kedua, kedua pihak sepakat divestasi saham 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia akan segera membeli saham Freeport hingga kepemilikan Indonesia lebih dominan. Ketiga. Freeport harus membangun smelter untuk fasilitas pengolahan dan pemurnian paling lambat 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur atau kahar seperti bencana alam. Keempat, kedua pihak menjamin penerimaan negara agregat akan lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini. Apa yang mereka sebut dengan stabilitas penerimaan negara ini didukung jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk Freeport Indonesia. Terakhir, jika empat poin dipenuhi oleh Freeport sesuai aturan IUPK maka perusahaan akan mendapat perpanjangan masa operasi maksimal 2×10 tahun hingga 2041.
Hal penting lain harus jadi perhatian, yakni soal kepatuhan lingkungan yang selama ini dilanggar perusahaan. Sebelum divestasi, katanya, Freeport harus menyelesaikan dulu tanggung jawab lingkungan yang menyebabkan perusahaan terus menerus kena protes. Minimal, menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada enam pelanggaran lingkungan yang dilakukan Freeport, yakni penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, hutang kewajiban dana pascatambang dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah. BPK menghitung potensi kerugian negara oleh Freeport senilai Rp185,563 triliun. Selain itu, harus ada produk hukum yang menjamin Freeport menyelesaikan tunggakan kewajiban termasuk pembangunan smelter sebelum ‘jalan bersama’ Indonesia setelah divestasi.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) menyayangkan, dalam renegosiasi ini pembahasan aspek lingkungan dan fokus keberatan masyarakat Papua tak banyak terangkat. Meski demikian, Maryati berharap draf IUPK Freeport sudah bisa selesai tahun depan, hingga masyarakat bisa melihat sejauh mana keseriusan pembangunan smelter, mekanisme pengambilan saham, dan pembayaran pajak.Selain itu, juga menghindari intervensi politik sebagai dampak pemilihan umum 2019. Merah Johansyah Ismail Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berpendapat renegosiasi pemerintah dengan Freeport sama dengan memperpanjang derita rakyat dan lingkungan. “Berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan Freeport sejak semula beroperasi di Indonesia luput dari pembahasan dan kesepakatan.
Dalam UU No 4/2009 dinyatakan hanya pemegang IUPK boleh mengekspor konsentrat, sementara pemegang KK, seperti Freeport harus pemurnian di dalam negeri. Kewajiban divestasi pun mesti harus dilakukan 10 tahun sejak Freeport beroperasi atau pada 2011. “Apakah pelanggaran ini akan diputihkan?” Terlebih lagi perundingan antara pemerintah dengan Freeport dinilai selalu dilakukan dalam bentuk bussines as usual. “Tidak ada satupun klausul keselamatan rakyat di Papua dan lingkungan hidup. Layaknya tuan rumah yang berunding dengan maling yang menjarah rumahnya sendiri,” katanya. Dokumentasi Jatam, dua konsesi tambang Freport, blok A di Paniai dan Blok B di Mimika luasan mencapai 212.950 hektar. Perusahaan jadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah beracun, merkuri dan sianida. Lima sungai yakni Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe telah jadi tempat pengendapan tailing tambang. Hingga tahun lalu areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.
Untuk mengejar produksi 300.000 ton bijih per hari, Freeport membangun perluasan tanggul baru karena tailing sudah sampai ke laut dan mengancam sungai baru, Sungai Tipuka. Tak hanya mencemari sungai, sejak 1991-2013, pajak pemanfaatan air sungai dan air permukaan tak pernah dibayar Freeport. Menurut Kepala Dinas ESDM Papua, Bangun Manurung tahun 2014, tunggakan Freeport untuk pajak pemanfaatan air permukaan Rp32,4 triliun. “Pemerintah dan Freeport sengaja mengabaikan fakta kehancuran dan kerusakan ruang hidup rakyat Papua,” ucap Merah. Kasus Freeport, katanya, potret nyata bagaimana kebijakan negara dengan mudah dinegosiasikan oleh korporasi. Merujuk ke belakang, Freeport mendesak pemerintah menerbitkan PP No 1/2014 untuk memberikan toleransi pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter hingga 11 Januari 2017.
Peraturan Menteri ESDM No 11/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan, dalam Pasal 13 permen ini dinyatakan rekomendasi ekspor diberikan apabila pembangunan smelter mencapai kondisi 60%. Dalam perkembangan, pemerintah menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5/2016. Permen ESDM ini memberikan lagi pengecualian, jika kualifikasi fisik smelter belum memenuhi target. “Itu sebabnya, kemajuan pembangunan smelter di Gresik hanya 14%, namun perpanjangan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport tetap terus diberikan.”
Intinya, ujar Merah, kehadiran Freeport mendorong eskalasi kekerasan terhadap Rakyat Papua, penggusuran kampung dan penangkapan sewenang-wenang, serta penghancuran lingkungan hidup. “Jelas, kesejahteraan yang selama ini diklaim telah dihadirkan oleh Freeport omong kosong, kesejahteraan semu belaka. Mempertahankan operasi Freeport justru merugikan dan mewariskan kerusakan tak terkendali dan tak terpulihkan.” Untuk itu, Jatam, mendesak pemerintah menutup Freeport, menegakkan hukum dan memulihkan Papua baik sisi lingkungan hidup maupun sosial ekonomi.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2017/08/30/ketika-freeport-sepakat-divestasi-51-saham-bagaimana-soal-lingkungan-dan-orang-papua/
#KMMH2017
#KabinetHutanTropis
#BeritaManajemenHutan